JAKARTA, Fraksigerindra.id — Menteri Keuangan Sri Mulyani di hadapan Komisi XI DPR-RI memaparkan akan memberi PMN kepada proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sebesar Rp 4,3 triliun. Dana tersebut akan diambil dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) APBN 2021.

PMN tersebut sebagai upaya penyelamatan terhadap proyek KCJB yang mengalami pembengkakan biaya. Pada awalnya proyek tersebut diperhitungkan membutuhkan biaya Rp 86,5 triliun. Kini biaya proyek menjadi Rp 114,24 triliun alias membengkak Rp 27,09 triliun.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR-RI Heri Gunawan mengatakan penggunaan APBN untuk mengatasi pembengkakan biaya proyek KCJB dinilai kurang tepat.

Lebih lanjut, politisi yang biasa disapa Hergun menyatakan, proyek KCJB dari segi investasi bukan merupakan investasi yang memberikan keuntungan secara cepat.

Menurut peneliti proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung baru bisa balik modal setidaknya dalam 139 tahun.

“PMN itu artinya negara menginvestasikan sejumlah uang dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang. Namun bila balik modalnya membutuhkan waktu yang lama maka disebut tidak layak investasi,” kata Heri Gunawan yang yang juga menjabat sebagai Kapoksi Gerindra di Komisi XI DPR-RI dalam rilisnya Senlasa (16/11).

Faktor lainnya, KCJB dianggap kurang ekonomis karena stasiun terakhir terletak di pinggiran Kota Bandung yakni stasiun Tegalluar. Sehingga penumpang masih harus berganti moda transportasi untuk menuju ke tengah kota.

Lalu, harga tiket diperkirakan antara Rp250.000 hingga Rp350.000 akan menyulitkan KCJB bersaing dengan moda transportasi lainya seperti armada travel, bus, dan kendaraan pribadi.

Kemudian, rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur sedikit banyak akan mengurangi mobilitas warga Bandung ke Jakarta.

“Itulah beberapa kondisi yang menyebabkan KCJB tidak layak didanai oleh APBN,” papar Hergun.

Perlu diketahui, proyek tersebut awalnya ditetapkan B to B dan tidak menggunakan APBN sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo sebelum proyek tersebut dilaksanakan.

“Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya B to B, bisnis,” kata Presiden Joko Widodo pada Kamis (3/9/2015).

Lalu pada 6/10/2015, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.

Adapun untuk menggarap proyek ini, telah didirikan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) pada Oktober 2015.

KCIC merupakan perusahaan patungan antara konsorsium BUMN melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan kepemilikan 60% dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co.Ltd. dengan kepemilikan 40%.

Pada Pasal 4 ayat (2) Perpres 107/2015 menyatakan pelaksanaan proyek KCJB tidak menggunakan dana dari APBN serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah.

“Mestinya Pemerintah konsisten dengan kebijakan tersebut. Proyek tersebut sudah melalui studi yang cukup lama dan komprehensif. JICA sudah menghabiskan dana 3,5 juta dollar untuk melakukan studi kelayakan. Belum lagi studi kelayakan yang dilakukan pihak China. Sehingga aneh bila tiba-tiba terjadi pembengkakan biaya yang cukup besar,” ujar Heri Gunawan

Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *